MAKALAH AKAD MUDHARABAH / FIQH MUAMALAH
BAB I
Secara etimologis
mudharabah mempunyai arti berjalan di atas bumi yang biasa dinamakan bepergian,
hal ini sesuai dengan firman Allah dalam QS. An-Nisaa’ 4: 101: “Dan apabila
kamu bepergian di muka bumi, maka tidaklah mengapa kamu meng-qasahar shalat.”[1]
Secara terminologis
mudharabah adalah kontrak (perjanjian) antara pemilik modal (rab al-mal) dan
pengguna dana (mudharib) untuk digunakan sebagai aktivitas yang produktif
dimana keuntungan dibagi dua antara pemodal dan pengelola modal. Kerugian jika
ad ditanggung oleh pemilik modal, jika kerugian itu terjadi dalam keadaan normal, pemodal (rab al-mal)
tidak boleh intervensi kepada pengguna dana (mudharib) dalam menjalankan
usahanya.[2]
Mudharabah suatu
bentuk kontrak yang lahir sejak zaman Rasulullah SAW sejak zaman
jahiliah/sebelum islam. Dan islam menerimanya dalam bentuk bagi hasil dan
investasi. Dalam bahasa Arab ada tiga istilah yang digunakan untuk bentuk
organisasi bisnis ini: qiradh, muqaqadhah, dan mudharabah.[3]
Dasar kebolehan
praktik mudharabah adalah QS. Al-Baqarah
2: 198: “Tidak ada dosa bagimu
untuk mencari karunia dari Tuhanmu.” Adapun dalil sunnah adalah bahwasanya Nabi
pernah melakukan akad mudharabah dengan harta khadijah ke negeri Syam (waktu
itu Khadijah belum menjadi istri Rasulullah SAW). Dan hadis “dari Shuhaibah
Rasulullah SAW bersabda: Ada tiga perkara yang diberkati: jual beli yang
ditangguhkan, member modal, dan mencampur gandum dengan kurma untuk keluarga,
bukan untuk dijual.” (HR. Ibnu Majah)[4]
Kebolehan
mudharabah juga dapat di-qiyas-kan dengan kebolehan praktik musaqah (bagi hasil dalam bidang perkebunan).
Selain itu, kebolehan praktik mudharabah merupakan ijma’ ulama.[5]
Menurut ulama
Syafi’iyah, rukun qiradh atau mudharabah ada enam yaitu:
1.
Pemilik barang yang menyerahkan barang-barangnya.
2.
Oaring yang bekerja, yaitu
mengelola harta yang diterima dari pemilik barang.
3.
Akad mudharabah, dilakukan oleh pemilik dengan pengelola barang.
4.
Maal, yaitu harta pokok atau modal.
5.
Amal, yaitu pekerjaan pengelolaan harta sehingga menghasilkan laba.
6.
Keuntungan.
Syarat-syarat sah
mudharabah berhubungan dengan
rukun-rukun mudharabah itu sendiri.syarat-syarat sah mudharabah adalah sebagai berikut.
1.
Modal atau barang yang diserahkan
itu berbentuk uang tunai. Apabila barang itu berbentuk emas perak batangan
(tabar), maka emas hiasan atau barang
dagangan lainnya, mudharabah
tersebut batal.
2.
Bagi orang yang melakukan akad disyaratkan mampu melakukan tasaruf, maka
dibatalkan akad anak-anak yang masih kecil, orang gila, dan orang-orang
yang berada di bawah pengampuan.
3.
Modal harus diketahui dengan jelas agar dapat dibedakan antara modal
yang diperdagangkan dan laba atau
keuntungan dari perdagangan tersebut yang akan dibagikan kepada dua belah
pihak sesuai ddengan perjanjian yang
telah disepakati,
4.
Keuntungan yang akan menjadi milik
pengelola dan pemilik modal harus jelas persentasenya.
5.
Melafazkan ijab dari pemilik modal, misalnya aku serahkan uang ini kepadamu untuk dagang jika ada keuntugan akan dibagi dua,
dan Kabul dari pengelola.
6.
Mudharabah bersifat mutlak, pemilik modal tidak mengikat pengelola harta
untuk berdagang di Negara tertentu, memperdagangkan barang-barang tetentu, pada
waktu-waktu tetentu, sementara di waktu lain tidak terkena persyaratan yang
mengikat sering menyimpang dari tujuan
akad mudharabah, yaitu
keuntungan. Bila dalam mudharabah ada persyaratan-persyaratan, maka mudharabah
tersebut menjadi rusak (fasid) menurut
pendapat al Syafi’I dan Malik. Adapun menurut Abu Hanifah dan Ahmad Ibn Hambal,
mudharabah tersebut sah.
Secara umum
mudharabah terbagi kepada dua jenis: mudharabah muthlaqah dan mudharabah
muqayyadah.
a.
Mudharabah Muthlaqah
Yang dimaksud
dengan transaksi mudharabah muthalaqah adalah bentuk kerja sama antara shahib
al-mal dan mudharib yang cakupannya sangat luas dan tidak dibatasi oleh
spesifikasi jenis usaha, waktu dan
daerah bisnis. Dalam pembahasan fiqh ulama Salafus Saleh sering kali
dicontohkan dengan ungkapan if’al maa
syi’ta (lakukan sesukamu) dari shahib al-mal yang member kekuasaan yang sangat
besar.
b.
Mudharabah Muqayyadah
Mudharabah
muqayyadah atau disebut juga dengan istilah restricted mudharabah/ specified
mudharabah adalah kebalikan dari mudharabah muthlaqah. Si mudharibdibatasi
denganbatasan jenis usaha, waktu atau tempat usaha. Adanya pembatasan ini
seringkali mencerminkan kecenderungan uymum si shahib al-mal dalam memasuki
jenis dunia usaha.
Mudharabah menjadi
batal apabila ada perkara-perkara sebagai berikut.
1.
Tidak terpenuhinya salah satu atau beberapa syarat mudharabah. Jika
salah satu syarat mudharabah tidak terpenuhi, sedangkan modal sudah dipegang
oleh pengelola dan sudah diperdagangkan,
maka pengelola mendapatkan sebagian keuntungannya sebgai upah, karena
tindakan atas pemilik modal dan ia berhak menerima upah. Jika terdapat keuntungan,
maka keuntungan tersebut untuk pemilik
modal. Jika ada kerugian, kerugian itu menjadi tanggung jawab pemilik
modal karena pengelola adalah sebagai buruh yang hanya berhak menerima upah dan
tidak bertanggung jawab sesuatu apapun, kecuali atas
kelalaiannya.
2.
Pengelola dengan sengaja meninggalkan tugasnya sebagai pengelola modal
atau pengelola modal berbuat sesuatu yang bertentangan dengan tujuan akad.
Dalam keadaan seperti ini pengelola modal bertanggung jawab jika terjadi kerugian karena dialah penyebab kerugian.
3.
Apabila pelaksana atau pemilik modal meninggal dunia, mudharabah menjadi
batal.
Islam mensyariatkan
mudharabah dan membolehkannya sebagai kemudahan bagi manusia. Sebagian mereka
memiliki harta tetapi tidak memiliki kemampuan mengelolanya. Di sisi lain,
terdapat orang yang tidak memiliki harta, tetapi ia mampu mengelolanya hingga berkembang. Karena itu, islam
membolehkan transaksi ini agar setiap orang mendapatkan manfaat dari yang lain.[10]
Hikmah yang
terkandung dalam persaingan dagang yang dikehendaki oleh syari’ Yang Maha
Bijaksana adalah dalam rangka menghilangkan hinanya kefakiran dan kemiskinan darisi fakir, menumbunkan
cinta dan kasih saying serta persatuan diantara manusia. Yaitu,
apabila seseorang mempunyai harta dan ia mendapatkan orang lain mampu untuk
mengembangkan harta itu dengan perdagangan, serta ia mempunyai keuntungan yang
besar, lalu keduanya sepakat atas hal itu. Sesungguhnya hal yang demikian
itu mengandung faedah bagi si pemilik
harta.[11]
Yang pertama,
pahala yang besar dari Allah SWT, karena dia telah mengangkat kehinaan,
kefakiran, dan kemiskinan dari si miskin, kalau bukan karena pertolongan dia,
maka si miskin itu akan
tetap beradaa dalam kesulitan.
Dan jika dia memang kaya, maka hal itu mengandung satu faedah, yaitu saling
tukar manfaat diantara mereka berdua.
Yang kedua,
pengembangan harta dan pertambahan kekayaan, adapun si fakir maka telah hilang
darinya kesulitan bekerja yang akhirnya dia mampu untuk melangsungkan hidup dan tidak menjadi beban
bagi masyarakat. Hal itu juga mempunyai
faedah lain yaitu menjadikan kejujuran sebagai syiar dan kebenaran
sebagai selimut yang membuat banyak orang menjadi senang dan banyak
konsumennya. Sehingga, mungkin dalam jangka waktu yang relative singkat
dia menjadi kaya, dimana sebelumnya dia
fakir. Dan ini semua adalah hikmah-hikmah yang agung dari Allah Yang Maha
Bijaksana.
Hukum mudharabah
berbeda-beda karena adanya perbedaan-perbedaan keadaan. Maka, kedudukan harta
yang dijadikan modal dalam mudharabah (qiradh) juga tergantung pada keadaan.
Karena pengelola
modal perdagangan mengelola modal tersebut
atas izin pemilik harta, maka pengelola modal merupakan wakilpemilik
barang tersebut dalam pengelolaannya, dan kedudukan modal adalah sebagai wikalah
‘alaih (objek wakalah).
Ketika harta
ditasharrufkan oleh pengelola, harta tersebut berada di bawah kekuasaan pengelola, sedangkan harta tersebut bukan
miliknya, sehingga harta tersebut berkedudukan sebagai amanat (titipan).
Apabila harta itu rusak bukan karena kelalaian pengelola, ia tidak wajib
menggantinya. Bila kerusakan timbul karena karena kelalaian pengelola, ia wajib
menanggungnya.
Ditinjau dari segi akad, mudharabah terdiri atas dua pihak. Bila ada keuntungan dalam pengelolaan
uang, laba itu dibagi dua dengan persentase yang telah disepakati. Karena
bersama-sama dalam keuntungan, maka mudharabah juga sebagai syirkah.
Ditinjau dari segi
keuntungan yang diterima oleh pengelola harta pengelola mengambil upah sebagai
bayaran dari tenaga yang dikeluarkan, sehingga mudharabah dianggap sebagai
ijarah (sewa-menyewa).
Apabila pengelola
modal mengingkari ketentuan-ketentuan mudharabah yang telah disepakati dua
belah pihak, maka telah terjadi kecacatan dalam mudharabah. Kecacatan yang
terjadi menyebabkan pengelolaan dan penguasaan harta tersebut dianggap ghasab.
Ghasab adalah min al-kabair.
Biaya bagi mudharib
diambil dari hartanya sendiri selama ia
tinggal di lingkungan (daerahnya) sendiri, demikian juga bila ia mengadakan
perjalanan untuk kepentingan mudharabah. Bila biaya mudharabah diambil dari keuntungan, kemungkinan pemilik harta
(modal) tidak akan memperoleh bagian dari keuntungan karean mungkin saja biaya tersebut sama besar atau bahkan
lebih besar daripada keuntungan.
Namun, jika pemilik
modal mengijinkan pengelola untuk membelanjakan modal mudharabah guna keperluan dirinya di tengah
perjalanan atau karena penggunaan tersebut sudah menjadi kebiasaan, maka ia
boleh menggunakan modal mudharabah. Imam
Malik berpendapat bahwa biaya-biaya baru boleh dibebankan kepada modal, apabila
modalnya cukup besar sehingga masih memungkinkan mendatangkan
keuntungan-keuntungan.
Jika pemilik modal
meninggal, seketika akad mudharabah menjadi batal. Ketika mudharabah menjadi
batal, maka pengelola tidak lagi memiliki hak untuk menggunakan uang modal.
Apabial ia menggunakannya setelah ia mengetahui kematian pemilik dan tanpa
seijin para ahli warisnya, berarti ia menggunakan hak milik
orang lain tanpa izin, dan ia harus menggantinya. Kemudian, apabila
tindakannya mendapatkan keuntungan, maka keuntungan tersebut untuk kedua belah
pihak.
Ibnu Taimiyah
berkata, “Hukum ini yang diambil Umar
bin Khaththab ra. berkenaan dengan harta yang dipinjam oleh kedua putranya dari
baitul mal dan digunakan untuk berdagang tanpa adanya hak kepemilikan. Karena itu,
Umar menjadikannya sebagai mudharabah.
Ketika mudharabah
menjadi batal dan keuntungan masih berupa barang dagangan, maka kedua pihak
bisa menjualnya atau membaginya secara langsung, karena barang tersebut adalah
hak mereka berdua.
Apabila pengelola
setuju agar keuntungan yang berupa barang dijual, sedangkan pemilik modal tidak
setuju, maka pemilik modal harus dipaksa agar ia setuju. Ini adalah pendapat
mazhab Imam Syafi’I dan Ahmad bin Hambal.
Ibnu Rusyd berkata,
“Seluruh ulama bersepakat bahwa pihak pengelola mudharabah tidak boleh
mengambil bagian keuntungan kecuali di hadapan pemilik modal. Mereka juga
bersepakat bahwa kehadiran pemilik modal adalah syarat pembagian keuntungan
sekaligus syarat pengelola boleh mengambil bagian keuntungannya. Dan dianggap
tidak cukup pembagian keuntungan hanya berdasarkan bukti dan lain sebagainya.”
a.
Syarat-syarat Keuntungan
Keuntungan dalam
sistem penanaman modal (bagi hasil) ini dipersyaratkan sebagai berikut:
Hendaknya diketahui
secara jelas. Dalam transaksi ditegaskan presentase tertentu bagi investor dan
pengelola modal. Keuntungan itu juga dibagikan dengan presentase yang sifatnya
merata, seperti setengah, sepertiga atau seperempat dan sejenisnya. Kalau
ditetapkan sejumlah keuntungan pasti bagi salah satu pihak, sementara sisanya
untuk pihak lain, maka itu adalah usaha investasi yang tidak sah, tanpa perlu
diperdebatkan lagi. Karena bisa jadi keuntungan dari usaha itu hanyalah bagian,
sehingga kerja sama itu harus diberhentikan dalam keuntungan yang demikian
kecil sehingga tidak bisa lagi disebut usaha dengan sistem investasi. Dan yang
lebih rusak lagi dari ini adalah apabila pemilik memberikan syarat presentase
tertentu dari modalnya yang tidak terkait dengan usaha penanaman modal ini.
Karena itu berarti mengkompromikan antara usaha melalui system penanaman modal
ini dengan usaha berbasis riba. Ibnul Mundzir menyatakan, “Banyak kalangan
ulama yang kami kenal betul yang bersepakat bahwa penanaman modal itu dianggap
batal kalau salah seorang diantara kedua belah pihak atau kedu-keduanya
menetapkan presentase tertentu untuk tidak diputar dalam usaha.
b.
Kode Etik Pembagian Hasil Keuntungan
Ada sejumlah kode
etik dalam sistem pembagian keuntungan dalam usaha berbasis penanama modal ini
yang kami ringkaskan sebagai berikut:
1.
Keuntungan berdasarkan kesempatan dua belah pihak, namun kerugian hanya
ditanggung oleh pemilik modal saja.
Pembagian
keuntungan antara dua belah pihak yang terlibat usaha dengan penanaman modal
itu adalah berdasarkan kesempatan mereka berdua, namun hanya pemilik modal saja yang menanggung kerugian. Pengelola
modal hanya mengalami kerugian kehilangan tenaga. Alasannya, karena kerugian
itu adalah ungkapan yang menunjukkan berkurangnya modal, dan itu adalah
persoalan pemilik modal, pengelola tidak memiliki kekuasaan dalam hal itu, sehingga kekurangan
modal hanya ditanggung oleh pemilik modal saja, tidak oleh pihak lain.
2.
Keuntungan dijadikan sebagai cadangan modal
Artinya, pengelola
tidak berhak menerima keuntungan sebelum ia menyerahkan kembali modal yang ada,
karena keuntungan itu adalah kelebihan dari modal. Kalau belum menjadi
tambahan, maka tidak disebut keuntungan. Kalau ada keuntungan di satu sisi dan
kerugian atau kerusakan di sisi lain, maka kerugian atau kerusakan itu harus
ditutupi terlebih dahulu dengan keuntungan yang ada, kemudian yang tersisa
dibagi-bagikan berdua sesuai dengan kesepakatan.
3.
Pengelola tidak boleh mengambil keuntungan sebelum masa pembagian
Pengelola sudah
berhak atas bagian keuntungan dengan semata-mata terlihatnya keuntungan
tersebut. Akan tetapi hak tersebut tertahan sampai adanya pembagian di akhir
masa perjanjian. Oleh sebab itu, tidak ada hak bagi pengelola modal untuk
mengambil bagiannya dari keuntungan yang ada kecuali dengan pembagian resmi
akhir itu. Dan pembagian itu hanya dengan izin dari pemilik modal atau dengan
kehadirannya. Tidak diketahui adanya perbedaan pendapat dalam persoalan ini
Alasan tidak
dibolehkannya pengelola modal mengambil
bagiannya dari keuntungan kecuali setelah masa pembagian adalah sebagai
berikut:
Bisa jadi terjadi
kerugian setelah itu, sehingga keuntungan itu digunakan untuk menutupinya,
sebagaimana telah dijelaskan fungsi keuntungan itu sebagai cadangan modal.
Sehingga bukan hanya dengan pembagian saja hak masing-masing dari kedua belah
pihak terjaga.
Pemilik modal
adalah mitra usaha pengelola, sehingga tidak ada hak baginya untuk mengambil
bagian keuntungannya tanpa izin dari mitra usahanya itu atau tanpa
kehadirannya.
4.
Hak mendapatkan keuntungan tidak akan diperoleh salah satu pihak sebelum
dilakukan perhitungan akhir terhadap usaha tersebut.
Sesungguhnya hak
kepemilikan masing-masing pihak terhadap keuntungan yang dibagikan adalah hak
yang labil dan tidak akan bersifat permanen sebelum diberakhirkannya perjanjian
dan seluruh bentuk usaha disaring bersama yang ada. Adapun sebelum itu,
keuntungan yang dibagikan itu pun masih bersifat cadangan modal yang digunakan
menutupi kerugian yang bisa saja terjadi kemudian sebelum dilakukan perhitungan
akhir.
Perhitungan akhir
yang mempermanenkan hak kepemilikan keuntungan, aplikasinya bisa dua macam:
Pertama,
perhitungan akhir terhadap usaha. Yakni dengan cara itu pemilik modal bisa
menarik kembali modalnya dan menyelesaikan ikatan kerja sama antara kedua belah
pihak.
Kedua, perhitungan
akhir terhadap kalkulasi keuntungan. Yakni dengan cara penguangan aset dan
menghadirkannya lalu menetapkan nilainya secara kalkulatif, dimana apabila
pemilik modal mau dia bisa mengambilnya. Tetapi kalau ia ingin diputar kembali,
berarti harus dilakukan perjanjian usaha baru, bukan meneruskan usaha yang
lalu.
BAB II PENUTUP
Kesimpulan
Mudharabah atau
qiradh adalah kerja sama antara pemilik modal (harta) dengan pengelola modal
tersebut, dengan syarat bahwa keuntungan yang diperoleh akan dibagi kepada kedua belah pihak sesuai dengan
kesepakatan.
Ø
Rukun Mudharabah
a.
Pemilik barang yang menyerahkan barang-barangnya.
b.
Orang yang bekerja, yaitu
mengelola harta yang diterima dari pemilik barang.
c.
Akad mudharabah, dilakukan oleh pemilik dengan pengelola barang.
d.
Maal, yaitu harta pokok atau modal.
e.
Amal, yaitu pekerjaan pengelolaan harta sehingga menghasilkan laba.
f.
Keuntungan.
Ø
Jenis-jenis Mudharabah
a.
Mudharabah Muthlaqah
Yang dimaksud
dengan transaksi mudharabah muthalaqah adalah bentuk kerja sama antara shahib
al-mal dan mudharib yang cakupannya sangat luas dan tidak dibatasi oleh
spesifikasi jenis usaha, waktu dan
daerah bisnis.
b.
Mudharabah Muqayyadah
Mudharabah
muqayyadah atau disebut juga dengan istilah restricted mudharabah/ specified
mudharabah adalah kebalikan dari mudharabah muthlaqah.
Ø
Pembatalan Mudharabah
a.
Tidak terpenuhinya salah satu atau beberapa syarat mudharabah.
b.
Pengelola dengan sengaja meninggalkan tugasnya sebagai pengelola modal
atau pengelola modal berbuat sesuatu yang bertentangan dengan tujuan akad.
c.
Apabila pelaksana atau pemilik modal meninggal dunia, mudharabah menjadi
batal.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Mushlih, Abdullah dan Shalah Ash-Shawi. 2008. Fiqh Ekonomi Keuangan Islam. Jakarta:
Darul Haq.
Al-Jurjawi, Syaikh ‘Ali Ahmad. 2003. Hikmah Dibalik Hukum Islam Bidang Muamalah.
Jakarta Selatan: Mustaqim.
Mardani. 2012. Fiqh
Ekonomi Syariah. Jakarta: Kencana.
Sabiq, Sayyid. 2008.
Fiqih Sunah. Jakarta Timur: Al-I’tishom.
Suhendi, Hendi. 2008. Fiqh Muamalah. Jakarta: Pt. Raja Grafindo Persada.
0 komentar:
Posting Komentar