Our social:

1/02/2017

MAKALAH AKAD MUDHARABAH / FIQH MUAMALAH

 PEMBAHASAN

akad mudharabah
Akad Mudharabah


BAB I

Secara etimologis mudharabah mempunyai arti berjalan di atas bumi yang biasa dinamakan bepergian, hal ini sesuai dengan firman Allah dalam QS. An-Nisaa’ 4: 101: “Dan apabila kamu bepergian di muka bumi, maka tidaklah mengapa kamu meng-qasahar shalat.”[1] 
Secara terminologis mudharabah adalah kontrak (perjanjian) antara pemilik modal (rab al-mal) dan pengguna dana (mudharib) untuk digunakan sebagai aktivitas yang produktif dimana keuntungan dibagi dua antara pemodal dan pengelola modal. Kerugian jika ad ditanggung oleh pemilik modal, jika kerugian itu terjadi  dalam keadaan normal, pemodal (rab al-mal) tidak boleh intervensi kepada pengguna dana (mudharib) dalam menjalankan usahanya.[2]
Mudharabah suatu bentuk kontrak yang lahir sejak zaman Rasulullah SAW sejak zaman jahiliah/sebelum islam. Dan islam menerimanya dalam bentuk bagi hasil dan investasi. Dalam bahasa Arab ada tiga istilah yang digunakan untuk bentuk organisasi bisnis ini: qiradh, muqaqadhah, dan mudharabah.[3]
Dasar kebolehan praktik mudharabah adalah QS. Al-Baqarah  2: 198: “Tidak  ada dosa bagimu untuk mencari karunia dari Tuhanmu.” Adapun dalil sunnah adalah bahwasanya Nabi pernah melakukan akad mudharabah dengan harta khadijah ke negeri Syam (waktu itu Khadijah belum menjadi istri Rasulullah SAW). Dan hadis “dari Shuhaibah Rasulullah SAW bersabda: Ada tiga perkara yang diberkati: jual beli yang ditangguhkan, member modal, dan mencampur gandum dengan kurma untuk keluarga, bukan untuk dijual.” (HR. Ibnu Majah)[4]
Kebolehan mudharabah juga dapat di-qiyas-kan dengan kebolehan praktik  musaqah (bagi hasil dalam bidang perkebunan). Selain itu, kebolehan praktik mudharabah merupakan ijma’ ulama.[5]
Menurut ulama Syafi’iyah, rukun qiradh atau mudharabah ada enam yaitu:
1.      Pemilik barang yang menyerahkan barang-barangnya.
2.      Oaring yang  bekerja, yaitu mengelola harta yang diterima dari pemilik barang.
3.      Akad mudharabah, dilakukan oleh pemilik dengan  pengelola barang.
4.      Maal, yaitu harta pokok atau modal.
5.      Amal, yaitu pekerjaan pengelolaan harta sehingga menghasilkan laba.
6.      Keuntungan.

Syarat-syarat sah mudharabah berhubungan  dengan rukun-rukun mudharabah itu sendiri.syarat-syarat sah mudharabah adalah  sebagai berikut.
1.      Modal atau  barang yang diserahkan itu berbentuk uang tunai. Apabila barang itu berbentuk emas perak batangan (tabar), maka emas hiasan atau barang  dagangan lainnya, mudharabah  tersebut batal.
2.      Bagi orang yang melakukan akad disyaratkan mampu melakukan tasaruf, maka dibatalkan akad anak-anak yang masih kecil, orang gila, dan orang-orang yang  berada di bawah pengampuan.
3.      Modal harus diketahui dengan jelas agar dapat dibedakan antara modal yang diperdagangkan dan laba  atau keuntungan dari perdagangan tersebut yang akan dibagikan kepada dua belah pihak  sesuai ddengan perjanjian yang telah disepakati,
4.      Keuntungan yang akan menjadi milik  pengelola dan pemilik modal harus jelas persentasenya.
5.      Melafazkan ijab dari pemilik modal, misalnya aku  serahkan uang ini  kepadamu untuk  dagang jika ada keuntugan akan dibagi dua, dan Kabul  dari pengelola.
6.      Mudharabah bersifat mutlak, pemilik modal tidak mengikat pengelola harta untuk berdagang di Negara tertentu, memperdagangkan barang-barang tetentu, pada waktu-waktu tetentu, sementara di waktu lain tidak terkena persyaratan yang mengikat sering menyimpang dari tujuan  akad  mudharabah, yaitu keuntungan. Bila dalam mudharabah ada persyaratan-persyaratan, maka mudharabah tersebut menjadi  rusak (fasid) menurut pendapat al Syafi’I dan Malik. Adapun menurut Abu Hanifah dan Ahmad Ibn Hambal, mudharabah tersebut sah.

Secara umum mudharabah terbagi kepada dua jenis: mudharabah muthlaqah dan mudharabah muqayyadah.
a.       Mudharabah Muthlaqah
Yang dimaksud dengan transaksi mudharabah muthalaqah adalah bentuk kerja sama antara shahib al-mal dan mudharib yang cakupannya sangat luas dan tidak dibatasi oleh spesifikasi jenis  usaha, waktu dan daerah bisnis. Dalam pembahasan fiqh ulama Salafus Saleh sering kali dicontohkan dengan ungkapan if’al  maa syi’ta (lakukan sesukamu) dari shahib al-mal yang member kekuasaan yang sangat besar.
b.      Mudharabah  Muqayyadah
Mudharabah muqayyadah atau disebut juga dengan istilah restricted mudharabah/ specified mudharabah adalah kebalikan dari mudharabah muthlaqah. Si mudharibdibatasi denganbatasan jenis usaha, waktu atau tempat usaha. Adanya pembatasan ini seringkali mencerminkan kecenderungan uymum si shahib al-mal dalam memasuki jenis dunia usaha.
Mudharabah menjadi batal apabila ada perkara-perkara sebagai berikut.
1.      Tidak terpenuhinya salah satu atau beberapa syarat mudharabah. Jika salah satu syarat mudharabah tidak terpenuhi, sedangkan modal sudah dipegang oleh pengelola dan sudah diperdagangkan,  maka pengelola mendapatkan sebagian keuntungannya sebgai upah, karena tindakan atas pemilik modal dan ia berhak menerima upah. Jika terdapat keuntungan, maka keuntungan tersebut untuk pemilik  modal. Jika ada kerugian, kerugian itu menjadi tanggung jawab pemilik modal karena pengelola adalah sebagai buruh yang hanya berhak menerima upah dan tidak  bertanggung  jawab sesuatu apapun, kecuali atas kelalaiannya.
2.      Pengelola dengan sengaja meninggalkan tugasnya sebagai pengelola modal atau pengelola modal berbuat sesuatu yang bertentangan dengan tujuan akad. Dalam keadaan seperti ini pengelola modal bertanggung  jawab jika terjadi  kerugian karena dialah  penyebab kerugian.
3.      Apabila pelaksana atau pemilik modal meninggal dunia, mudharabah menjadi batal.
  
Islam mensyariatkan mudharabah dan membolehkannya sebagai kemudahan bagi manusia. Sebagian mereka memiliki harta tetapi tidak memiliki kemampuan mengelolanya. Di sisi lain, terdapat orang yang tidak memiliki harta, tetapi ia mampu mengelolanya  hingga berkembang. Karena itu, islam membolehkan transaksi ini agar setiap orang mendapatkan manfaat dari yang lain.[10] 
Hikmah yang terkandung dalam persaingan dagang yang dikehendaki oleh syari’ Yang Maha Bijaksana adalah dalam rangka menghilangkan hinanya kefakiran  dan kemiskinan darisi fakir, menumbunkan cinta dan  kasih saying  serta persatuan diantara manusia. Yaitu, apabila seseorang mempunyai harta dan ia mendapatkan orang lain mampu untuk mengembangkan harta itu dengan perdagangan, serta ia mempunyai keuntungan yang besar, lalu keduanya sepakat atas hal itu. Sesungguhnya hal yang demikian itu  mengandung faedah bagi  si pemilik  harta.[11]
Yang pertama, pahala yang besar dari Allah SWT, karena dia telah mengangkat kehinaan, kefakiran, dan kemiskinan dari si miskin, kalau bukan karena pertolongan dia, maka si miskin  itu  akan  tetap  beradaa dalam kesulitan. Dan jika dia memang kaya, maka hal itu mengandung satu faedah, yaitu saling tukar manfaat diantara mereka berdua.
Yang kedua, pengembangan harta dan pertambahan kekayaan, adapun si fakir maka telah hilang darinya kesulitan bekerja yang akhirnya dia mampu untuk  melangsungkan hidup dan tidak menjadi beban bagi masyarakat. Hal itu juga mempunyai  faedah lain yaitu menjadikan kejujuran sebagai syiar dan kebenaran sebagai selimut yang membuat banyak orang menjadi senang dan banyak konsumennya. Sehingga, mungkin dalam jangka waktu yang relative singkat dia  menjadi kaya, dimana sebelumnya dia fakir. Dan ini semua adalah hikmah-hikmah yang agung dari Allah Yang Maha Bijaksana.
Hukum mudharabah berbeda-beda karena adanya perbedaan-perbedaan keadaan. Maka, kedudukan harta yang dijadikan modal dalam mudharabah (qiradh) juga tergantung pada keadaan.
Karena pengelola modal perdagangan mengelola modal tersebut  atas izin pemilik harta, maka pengelola modal merupakan wakilpemilik barang tersebut dalam pengelolaannya, dan kedudukan modal adalah sebagai wikalah ‘alaih (objek wakalah).
Ketika harta ditasharrufkan oleh pengelola, harta tersebut berada di bawah kekuasaan  pengelola, sedangkan harta tersebut bukan miliknya, sehingga harta tersebut berkedudukan sebagai amanat (titipan). Apabila harta itu rusak bukan karena kelalaian pengelola, ia tidak wajib menggantinya. Bila kerusakan timbul karena karena kelalaian pengelola, ia wajib menanggungnya.
Ditinjau dari  segi akad, mudharabah terdiri atas dua  pihak. Bila ada keuntungan dalam pengelolaan uang, laba itu dibagi dua dengan persentase yang telah disepakati. Karena bersama-sama dalam keuntungan, maka mudharabah juga sebagai syirkah.
Ditinjau dari segi keuntungan yang diterima oleh pengelola harta pengelola mengambil upah sebagai bayaran dari tenaga yang dikeluarkan, sehingga mudharabah dianggap sebagai ijarah (sewa-menyewa).
Apabila pengelola modal mengingkari ketentuan-ketentuan mudharabah yang telah disepakati dua belah pihak, maka telah terjadi kecacatan dalam mudharabah. Kecacatan yang terjadi menyebabkan pengelolaan dan penguasaan harta tersebut dianggap ghasab. Ghasab adalah min al-kabair.
Biaya bagi mudharib diambil dari hartanya sendiri  selama ia tinggal di lingkungan (daerahnya) sendiri, demikian juga bila ia mengadakan perjalanan untuk kepentingan mudharabah. Bila biaya mudharabah diambil  dari keuntungan, kemungkinan pemilik harta (modal) tidak akan memperoleh bagian dari keuntungan karean mungkin  saja biaya tersebut sama besar atau bahkan lebih besar daripada keuntungan.
Namun, jika pemilik modal mengijinkan pengelola untuk membelanjakan modal  mudharabah guna keperluan dirinya di tengah perjalanan atau karena penggunaan tersebut sudah menjadi kebiasaan, maka ia boleh menggunakan modal  mudharabah. Imam Malik berpendapat bahwa biaya-biaya baru boleh dibebankan kepada modal, apabila modalnya cukup besar sehingga masih memungkinkan mendatangkan keuntungan-keuntungan.
Jika pemilik modal meninggal, seketika akad mudharabah menjadi batal. Ketika mudharabah menjadi batal, maka pengelola tidak lagi memiliki hak untuk menggunakan uang modal. Apabial ia menggunakannya setelah ia mengetahui kematian pemilik dan tanpa seijin para ahli warisnya, berarti ia menggunakan hak  milik  orang lain tanpa izin, dan ia harus menggantinya. Kemudian, apabila tindakannya mendapatkan keuntungan, maka keuntungan tersebut untuk kedua belah pihak.
Ibnu Taimiyah berkata, “Hukum ini yang diambil  Umar bin Khaththab ra. berkenaan dengan harta yang dipinjam oleh kedua putranya dari baitul mal dan digunakan untuk berdagang tanpa adanya hak kepemilikan. Karena itu, Umar menjadikannya sebagai mudharabah.
Ketika mudharabah menjadi batal dan keuntungan masih berupa barang dagangan, maka kedua pihak bisa menjualnya atau membaginya secara langsung, karena barang tersebut adalah hak mereka berdua.
Apabila pengelola setuju agar keuntungan yang berupa barang dijual, sedangkan pemilik modal tidak setuju, maka pemilik modal harus dipaksa agar ia setuju. Ini adalah pendapat mazhab Imam Syafi’I dan Ahmad bin Hambal.
Ibnu Rusyd berkata, “Seluruh ulama bersepakat bahwa pihak pengelola mudharabah tidak boleh mengambil bagian keuntungan kecuali di hadapan pemilik modal. Mereka juga bersepakat bahwa kehadiran pemilik modal adalah syarat pembagian keuntungan sekaligus syarat pengelola boleh mengambil bagian keuntungannya. Dan dianggap tidak cukup pembagian keuntungan hanya berdasarkan bukti dan lain sebagainya.” 
a.       Syarat-syarat Keuntungan
Keuntungan dalam sistem penanaman modal (bagi hasil) ini dipersyaratkan sebagai berikut:
Hendaknya diketahui secara jelas. Dalam transaksi ditegaskan presentase tertentu bagi investor dan pengelola modal. Keuntungan itu juga dibagikan dengan presentase yang sifatnya merata, seperti setengah, sepertiga atau seperempat dan sejenisnya. Kalau ditetapkan sejumlah keuntungan pasti bagi salah satu pihak, sementara sisanya untuk pihak lain, maka itu adalah usaha investasi yang tidak sah, tanpa perlu diperdebatkan lagi. Karena bisa jadi keuntungan dari usaha itu hanyalah bagian, sehingga kerja sama itu harus diberhentikan dalam keuntungan yang demikian kecil sehingga tidak bisa lagi disebut usaha dengan sistem investasi. Dan yang lebih rusak lagi dari ini adalah apabila pemilik memberikan syarat presentase tertentu dari modalnya yang tidak terkait dengan usaha penanaman modal ini. Karena itu berarti mengkompromikan antara usaha melalui system penanaman modal ini dengan usaha berbasis riba. Ibnul Mundzir menyatakan, “Banyak kalangan ulama yang kami kenal betul yang bersepakat bahwa penanaman modal itu dianggap batal kalau salah seorang diantara kedua belah pihak atau kedu-keduanya menetapkan presentase tertentu untuk tidak diputar dalam usaha.
b.      Kode Etik Pembagian Hasil Keuntungan
Ada sejumlah kode etik dalam sistem pembagian keuntungan dalam usaha berbasis penanama modal ini yang kami ringkaskan sebagai berikut:
1.      Keuntungan berdasarkan kesempatan dua belah pihak, namun kerugian hanya ditanggung oleh pemilik modal saja.
Pembagian keuntungan antara dua belah pihak yang terlibat usaha dengan penanaman modal itu adalah berdasarkan kesempatan mereka berdua, namun hanya pemilik modal  saja yang menanggung kerugian. Pengelola modal hanya mengalami kerugian kehilangan tenaga. Alasannya, karena kerugian itu adalah ungkapan yang menunjukkan berkurangnya modal, dan itu adalah persoalan pemilik modal, pengelola tidak memiliki  kekuasaan dalam hal itu, sehingga kekurangan modal hanya ditanggung oleh pemilik modal saja, tidak oleh pihak lain.
2.      Keuntungan dijadikan sebagai cadangan modal
Artinya, pengelola tidak berhak menerima keuntungan sebelum ia menyerahkan kembali modal yang ada, karena keuntungan itu adalah kelebihan dari modal. Kalau belum menjadi tambahan, maka tidak disebut keuntungan. Kalau ada keuntungan di satu sisi dan kerugian atau kerusakan di sisi lain, maka kerugian atau kerusakan itu harus ditutupi terlebih dahulu dengan keuntungan yang ada, kemudian yang tersisa dibagi-bagikan berdua sesuai dengan kesepakatan.
3.      Pengelola tidak boleh mengambil keuntungan sebelum masa pembagian
Pengelola sudah berhak atas bagian keuntungan dengan semata-mata terlihatnya keuntungan tersebut. Akan tetapi hak tersebut tertahan sampai adanya pembagian di akhir masa perjanjian. Oleh sebab itu, tidak ada hak bagi pengelola modal untuk mengambil bagiannya dari keuntungan yang ada kecuali dengan pembagian resmi akhir itu. Dan pembagian itu hanya dengan izin dari pemilik modal atau dengan kehadirannya. Tidak diketahui adanya perbedaan pendapat dalam persoalan ini
Alasan tidak dibolehkannya  pengelola modal mengambil bagiannya dari keuntungan kecuali setelah masa pembagian adalah sebagai berikut:
Bisa jadi terjadi kerugian setelah itu, sehingga keuntungan itu digunakan untuk menutupinya, sebagaimana telah dijelaskan fungsi keuntungan itu sebagai cadangan modal. Sehingga bukan hanya dengan pembagian saja hak masing-masing dari kedua belah pihak terjaga.
Pemilik modal adalah mitra usaha pengelola, sehingga tidak ada hak baginya untuk mengambil bagian keuntungannya tanpa izin dari mitra usahanya itu atau tanpa kehadirannya.
4.      Hak mendapatkan keuntungan tidak akan diperoleh salah satu pihak sebelum dilakukan perhitungan akhir terhadap usaha tersebut.
Sesungguhnya hak kepemilikan masing-masing pihak terhadap keuntungan yang dibagikan adalah hak yang labil dan tidak akan bersifat permanen sebelum diberakhirkannya perjanjian dan seluruh bentuk usaha disaring bersama yang ada. Adapun sebelum itu, keuntungan yang dibagikan itu pun masih bersifat cadangan modal yang digunakan menutupi kerugian yang bisa saja terjadi kemudian sebelum dilakukan perhitungan akhir.
Perhitungan akhir yang mempermanenkan hak kepemilikan keuntungan, aplikasinya bisa dua macam:
Pertama, perhitungan akhir terhadap usaha. Yakni dengan cara itu pemilik modal bisa menarik kembali modalnya dan menyelesaikan ikatan kerja sama antara kedua belah pihak.
Kedua, perhitungan akhir terhadap kalkulasi keuntungan. Yakni dengan cara penguangan aset dan menghadirkannya lalu menetapkan nilainya secara kalkulatif, dimana apabila pemilik modal mau dia bisa mengambilnya. Tetapi kalau ia ingin diputar kembali, berarti harus dilakukan perjanjian usaha baru, bukan meneruskan usaha yang lalu.
  







BAB II                                                                                                       PENUTUP


Kesimpulan

Mudharabah atau qiradh adalah kerja sama antara pemilik modal (harta) dengan pengelola modal tersebut, dengan syarat bahwa keuntungan yang diperoleh akan dibagi  kepada kedua belah pihak sesuai dengan kesepakatan.
Ø  Rukun Mudharabah
a.       Pemilik barang yang menyerahkan barang-barangnya.
b.      Orang yang  bekerja, yaitu mengelola harta yang diterima dari pemilik barang.
c.       Akad mudharabah, dilakukan oleh pemilik dengan  pengelola barang.
d.      Maal, yaitu harta pokok atau modal.
e.       Amal, yaitu pekerjaan pengelolaan harta sehingga menghasilkan laba.
f.       Keuntungan.

Ø  Jenis-jenis Mudharabah
a.       Mudharabah Muthlaqah
Yang dimaksud dengan transaksi mudharabah muthalaqah adalah bentuk kerja sama antara shahib al-mal dan mudharib yang cakupannya sangat luas dan tidak dibatasi oleh spesifikasi jenis  usaha, waktu dan daerah bisnis.
b.      Mudharabah  Muqayyadah
Mudharabah muqayyadah atau disebut juga dengan istilah restricted mudharabah/ specified mudharabah adalah kebalikan dari mudharabah muthlaqah.
Ø  Pembatalan Mudharabah
a.       Tidak terpenuhinya salah satu atau beberapa syarat mudharabah.
b.      Pengelola dengan sengaja meninggalkan tugasnya sebagai pengelola modal atau pengelola modal berbuat sesuatu yang bertentangan dengan tujuan akad.
c.       Apabila pelaksana atau pemilik modal meninggal dunia, mudharabah menjadi batal.

 

DAFTAR PUSTAKA


Al-Mushlih, Abdullah dan Shalah Ash-Shawi. 2008. Fiqh Ekonomi Keuangan Islam. Jakarta: Darul Haq.
Al-Jurjawi, Syaikh ‘Ali Ahmad. 2003. Hikmah Dibalik Hukum Islam Bidang Muamalah. Jakarta Selatan: Mustaqim.
Mardani. 2012. Fiqh Ekonomi Syariah. Jakarta: Kencana.
Sabiq, Sayyid. 2008. Fiqih Sunah. Jakarta Timur: Al-I’tishom.
Suhendi, Hendi. 2008. Fiqh Muamalah. Jakarta: Pt. Raja Grafindo Persada.




        [1] Mardani, Fiqh Ekonomi Syariah, Jakarta: Kencana, 2012, hlm. 195.
        [2] Ibid, hlm. 195.
        [3] Ibid, hlm. 195.
        [4] Ibid, hlm. 196.
      [5] Ibid, hlm. 196.
      [6] Ibid, hlm.197.
      [7] Ibid, hlm. 197-198.
[8] Ibid, hlm 199-200.
[9] Ibid, hlm. 203-204.
        [10] Sayyid Sabiq, Fiqih Sunah Sayyid Sabiq jilid 3, Jakarta Timur: Al-I’tishom, 2008, hlm. 381.
        [11] Syaikh ‘Ali Ahmad Al Jurjawi, Hikmah dibalik Hukum  Islam Bidang Muamalah, Jakarta Selatan: Daarul Fikr-Baerut, 2003, hlm. 197-198.
      [12] Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, Jakarta: Pt. Raja Grafindo Persada,2008, hlm. 140-141.
[13] Ibid, hlm. 141-142.
[14] Sayyid Sabiq, op.cit. hlm. 385.
      [15] Ibid, hlm. 386
      [16] Abdullah Al-Mushlih dan Shalah Ash-Shawi, Fiqh Ekonomi Keuangan Islam, Jakarta: Darul Haq, 2008, hlm. 176-179. 

0 komentar:

Posting Komentar